 |
| Gambar: Egi Kurniawan |
Gaya politik belakangan ini sebenarnya berbeda dengan
bentuk politik lama memanasnya situasi lantaran pemimpin yang sedang berkuasa sedang
menjalankan tugasnya dengan suatu kebijakan yang populer salahsatunya kebijakan
yang sangat strategis adalah pembangunan dibidang infrastruktur yang dibangun oleh
pemerintahan Joko Widodo.
Gebrakan infrastruktur pun tak main-main, dalam kurun 5
tahun pemerintahannya Jokowi berhasil membangun berbagai sarana umum untuk
menunjang kebudayaan baru, salah satunya adalah Tol, Bendungan/irigasi, Padat karya,
Transformasi Agraria/Sertifikat tanah, berbagai bandar udara, pelabuhan, LRT
(Light Rail Transit) dan sebagainya.. mungkin kita tidak dapat menyebutkannya
satu-persatu tapi yang jelas poinnya adalah fokus dari pemerintahan Jokowi adalah
infratruktur dan pelayanan publik sebagai modal awal untuk membangun sumber
daya manusia.
Berbagai kebijakan yang akan menyatukan bangsa ini
sesuai amanat pancasila dan konstitusi, dengan lahirnya jiwa kebinekaan terebut
sangat disayangkan para kaum yang panatik terhadap agama lalu muncul dan merasa
dikriminalisasi padahal sedikitpun Jokowi tak ingin membeda-bedakan bangsanya.
Para kaum pembenci dan oposisi pemerintah diawali dari
pemilihannya sebagai presiden 2014 silam yang mana pada pemilihan tahun itu
pula muncul prbedaan dan pergulatan politik yang dinilai menjauhi adab kebuda
ketimuran itu sendiri, karena pasalnya Jokowi yang merupakan anak si tukang
kayu difitnah habis-habisan mulai dari keluarnya majalah obor rakyat yang
mengatakan jokowi terlahir dari keluarga PKI (Partai Komunis Indonesia), anak
seorang pengusaha singapura Oey Hong Liong dan pro terhadap asing/aseng dan
sebagainya.
Fitnah 2014 lalupun berhasil mempengaruhi pemikiran
masyarakat sehingga para oposisi yang kalah silam partai pengusung Jokowi hanya
5 partai yaitu PDI, Nasdem, Hanura PKPI. Sayangnya meski difitnah sampai saat
ini para oposisi semakin tunduk padahal dulu rivalnya Prabowo Subianto memiliki 6 partai pendukung
yang didalamya adalah Geindra, PAN, PPP, PKS, Demokrat dan Golkar. Artinya
partai pendukung Prabowo lebih berkuasa ketimbang partai pendukung Jokowi,
sehingga memanasnya perpolitikan dalam negeri.
Pada pemilihan presiden 2019 mendatang para partai
yang telah menentukan sikap untuk mendukung Jokowi ada 8 yaitu PDI, Golkar,
PPP, Nasdem, Hanura, PKB, Perindo, PSI dan ada tinggal beberapa partai lagi
yang belum menentukan sikap termasuk Demokrat, PKS, Gerindra, dan PAN.
Koalisi Jokowi pada pertarungan 2019 akan semakin kuat
karena figur yang ditampilkan oleh para oposisi tidak mempunyain elektabilitas
yang kuat, termasuk ketum Gerindra Prabowo subianto karena pasalnya Prabowo
telah kalah dalam beberapa kali pemilihan presiden dan wakil presiden.
2018
lalu perpolitikan semakin memanas dengan hadirnya tagar #2019GantiPresiden,
tetapi sayangnya kondisi ganti presiden semakin redup karena jagoan pilkada
serentak termasuk pemilihan Gubernur 17 provinsi yang nantinya akan mementukan
arah pemilihan presiden 2019.
Sangat mengejutkan ketika jagoan para oposisi nyungsep
termasuk pasangan no urut 4 pada pemilihan gubernur jawabarat, padalah dalam
wawancaranya di Kompas ia menganggarkan dana 300 miliar untuk bertarung di Jawa
Barat yang di usung oleh partai Gerindra. Meski Jawa Barat termasuk magnet perpolitikan
nasional pasangan no. 4 pendukung #2019GantiPresiden nasibnya disingkirkan oleh
lawannya Ridwan Kamil.
Tetapi ada yang menarik pada pemilihan gubernur SUMUT (Sumatra Utara) yang notabenenya masyarakat SUMUT memiliki berbagai etnis dan agama, Daerah
SUMUT memang lumayan panas dalam perpolitikan karena masyarakat disana akrab
dengan perpolitikan sehingga kemenangan gubernur yang dijagokan
oposisi/Gerindra mendapat keberuntungan sehingga Edy Rahmayadi terpilih menjadi
gubernur atas rivalnya Djarot Saiful Hidayat.
Sebenarnya perpolitikan ini sungguh tragis, karena
nasib bangsa dan kebijakan adalah output dari hasil politik sehingga mereka
selalu menghalalkan segala cara untuk meraih kedudukan, contohnya pada
pemilihan gubernur DKI Jakarta, kala itu memang dipimpin oleh Ahok sehingga
para oposisi harus menumbangkannya lewat isu sara hingga lahirnya aksi-aksi
yang mempengaruhi persepsi masyarakat lalu Ahok tumbang lewat pemilu 2017 sehingga
para figur yang mempunyai strategi isu sara pun berhasil menguasai Ibukota.
Tidak sampai disitu, para pendukung #2019GantiPresiden
melakukan aksi paling baru pada 1 Juli 2018, mereka demo di depan usaha
martabak anak Jokowi di solo. Padahal tidak ada korelasinya martabak Markobar
dengan tuntutan mereka. Jadi sungguh miris ketika segala cara harus dilakukan
untuk mendapat kedudukan, sungguh bukan
budaya kita bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kebhinekaan.
Penulis: Egi Kurniawan