Jumat, 06 Juli 2018

Nasib Tagar #2019GantiPresiden Semakin Kandas

Gambar: Egi Kurniawan

Gaya politik belakangan ini sebenarnya berbeda dengan bentuk politik lama memanasnya situasi lantaran pemimpin yang sedang berkuasa sedang menjalankan tugasnya dengan suatu kebijakan yang populer salahsatunya kebijakan yang sangat strategis adalah pembangunan dibidang infrastruktur yang dibangun oleh pemerintahan Joko Widodo.

Gebrakan infrastruktur pun tak main-main, dalam kurun 5 tahun pemerintahannya Jokowi berhasil membangun berbagai sarana umum untuk menunjang kebudayaan baru, salah satunya adalah Tol, Bendungan/irigasi, Padat karya, Transformasi Agraria/Sertifikat tanah, berbagai bandar udara, pelabuhan, LRT (Light Rail Transit) dan sebagainya.. mungkin kita tidak dapat menyebutkannya satu-persatu tapi yang jelas poinnya adalah fokus dari pemerintahan Jokowi adalah infratruktur dan pelayanan publik sebagai modal awal untuk membangun sumber daya manusia.

Berbagai kebijakan yang akan menyatukan bangsa ini sesuai amanat pancasila dan konstitusi, dengan lahirnya jiwa kebinekaan terebut sangat disayangkan para kaum yang panatik terhadap agama lalu muncul dan merasa dikriminalisasi padahal sedikitpun Jokowi tak ingin membeda-bedakan bangsanya.

Para kaum pembenci dan oposisi pemerintah diawali dari pemilihannya sebagai presiden 2014 silam yang mana pada pemilihan tahun itu pula muncul prbedaan dan pergulatan politik yang dinilai menjauhi adab kebuda ketimuran itu sendiri, karena pasalnya Jokowi yang merupakan anak si tukang kayu difitnah habis-habisan mulai dari keluarnya majalah obor rakyat yang mengatakan jokowi terlahir dari keluarga PKI (Partai Komunis Indonesia), anak seorang pengusaha singapura Oey Hong Liong dan pro terhadap asing/aseng dan sebagainya.

Fitnah 2014 lalupun berhasil mempengaruhi pemikiran masyarakat sehingga para oposisi yang kalah silam partai pengusung Jokowi hanya 5 partai yaitu PDI, Nasdem, Hanura PKPI. Sayangnya meski difitnah sampai saat ini para oposisi semakin tunduk padahal dulu rivalnya  Prabowo Subianto memiliki 6 partai pendukung yang didalamya adalah Geindra, PAN, PPP, PKS, Demokrat dan Golkar. Artinya partai pendukung Prabowo lebih berkuasa ketimbang partai pendukung Jokowi, sehingga memanasnya perpolitikan dalam negeri.

Pada pemilihan presiden 2019 mendatang para partai yang telah menentukan sikap untuk mendukung Jokowi ada 8 yaitu PDI, Golkar, PPP, Nasdem, Hanura, PKB, Perindo, PSI dan ada tinggal beberapa partai lagi yang belum menentukan sikap termasuk Demokrat, PKS, Gerindra, dan PAN.
Koalisi Jokowi pada pertarungan 2019 akan semakin kuat karena figur yang ditampilkan oleh para oposisi tidak mempunyain elektabilitas yang kuat, termasuk ketum Gerindra Prabowo subianto karena pasalnya Prabowo telah kalah dalam beberapa kali pemilihan presiden dan wakil presiden. 

2018 lalu perpolitikan semakin memanas dengan hadirnya tagar #2019GantiPresiden, tetapi sayangnya kondisi ganti presiden semakin redup karena jagoan pilkada serentak termasuk pemilihan Gubernur 17 provinsi yang nantinya akan mementukan arah pemilihan presiden 2019.
Sangat mengejutkan ketika jagoan para oposisi nyungsep termasuk pasangan no urut 4 pada pemilihan gubernur jawabarat, padalah dalam wawancaranya di Kompas ia menganggarkan dana 300 miliar untuk bertarung di Jawa Barat yang di usung oleh partai Gerindra. Meski Jawa Barat termasuk magnet perpolitikan nasional pasangan no. 4 pendukung #2019GantiPresiden nasibnya disingkirkan oleh lawannya Ridwan Kamil.

Tetapi ada yang menarik pada pemilihan gubernur SUMUT (Sumatra Utara) yang notabenenya masyarakat SUMUT memiliki berbagai etnis dan agama, Daerah SUMUT memang lumayan panas dalam perpolitikan karena masyarakat disana akrab dengan perpolitikan sehingga kemenangan gubernur yang dijagokan oposisi/Gerindra mendapat keberuntungan sehingga Edy Rahmayadi terpilih menjadi gubernur atas rivalnya Djarot Saiful Hidayat.


Sebenarnya perpolitikan ini sungguh tragis, karena nasib bangsa dan kebijakan adalah output dari hasil politik sehingga mereka selalu menghalalkan segala cara untuk meraih kedudukan, contohnya pada pemilihan gubernur DKI Jakarta, kala itu memang dipimpin oleh Ahok sehingga para oposisi harus menumbangkannya lewat isu sara hingga lahirnya aksi-aksi yang mempengaruhi persepsi masyarakat lalu Ahok tumbang lewat pemilu 2017 sehingga para figur yang mempunyai strategi isu sara pun berhasil menguasai Ibukota.


Tidak sampai disitu, para pendukung #2019GantiPresiden melakukan aksi paling baru pada 1 Juli 2018, mereka demo di depan usaha martabak anak Jokowi di solo. Padahal tidak ada korelasinya martabak Markobar dengan tuntutan mereka. Jadi sungguh miris ketika segala cara harus dilakukan untuk mendapat kedudukan, sungguh bukan  budaya kita bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinekaan.

Penulis: Egi Kurniawan

0 komentar: